Sabtu, Oktober 18, 2008

Minyak Gendruwo" Buatan ITS Lebih Hemat dari Minyak Tanah

I

Kontroversi banyugeni sedikit demi sedikit menguap. Belum juga berakhir kini muncul bahan bakar "minyak gendruwo" yang diklaim jauh lebih hemat daripada minyak tanah. Namun, kali ini tidak ada rahasia-rahasiaan sebab bahan bakar alternatif tersebut sudah siap dipasarkan berikut kompor pembakarnya.

Bahan bakar alternatif ini dibuat para peneliti di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Bisa disebut "minyak gendruwo" karena bahan bakar tersebut memang dibuat dari singkong gendruwo, jenis singkong yang umbinya berukuran cukup besar. Para penelitinya sendiri menyebut minyak tanah BE-40.
Secara fisik tak ada yang istimewa dengan bahan bakar tersebut. Pada dasarnya, BE-40 adalah cairan bio-ethanol biasa. Namun, terobosan yang diperkenalkan ITS adalah pemilihan bahan baku yang murah serta proses pembuatannya yang mudah.

"Bio-ethanol itu sangat hemat, karena satu liter minyak bio-ethanol setara dengan sembilan liter minyak tanah biasa", kata peneliti bio-ethanol, Ir Sri Nurhatika MP di Surabaya, Kamis (26/6). Didampingi Pembantu Rektor (PR) IV ITS Surabaya, Prof Ir Eko Budi Djatmiko, ia mengatakan, harga satu liter bio-ethanol Rp10.000, sedangkan sembilan liter minyak tanah berkisar Rp27.000 dengan asumsi harga Rp3.000 per liter.

Tidak hanya itu, bio-ethanol juga dapat dibuat sendiri oleh masyarakat, karena bahan pembuatan ethanol dapat ditemukan di pasar dan cara pembuatannya pun mudah. Menurut dia, ethanol sebenarnya dapat dibuat dari bahan yang mengandung karbohidrat, di antaranya ubi kayu, walur, kelapa sawit, tetes tebu, kacang koro, limbah tahu, limbah sampah, dan sebagainya.

"Bahan paling ideal adalah ubi kayu yang di Jawa dikenal dengan sebutan singkong gendruwo, karena tingkat karbohidratnya cukup tinggi. Singkong gendruwo juga mengandung pati (racun) yang tak layak dikonsumsi," katanya menambahkan.

Cara pembuatannya, kata dosen senior Biologi ITS Surabaya itu, singkong gendruwo itu ditumbuk halus, kemudian dimasak dengan panci sampai menjadi bubur. Hasilnya diberi ragi untuk memicu proses fermentasi dan didiamkan selama 4-5 hari sampai keluar cairan ethanolnya dengan kadar 90 persen. Namun, kadar ethanol 90 persen itu belum cukup untuk berfungsi seperti minyak tanah, sebab kadar ethanol yang dibutuhkan adalah 95 persen sehingga perlu ditingkatkan.

"Kalau kadar ethanolnya di bawah 95 persen masih mengandung Pb (timbal), sedangkan bahan bakar harus bebas dari Pb, sebab kalau ada Pb-nya bisa meledak. Untuk menaikkan kadar ethanol itu, katanya, perlu ditambahkan batu kapur (gamping), sehingga ethanol-nya menjadi bersih dari Pb.

Selain itu, kompor minyak tanah bio-ethanol juga tidak bersumbu. Dengan dukungan peneliti Teknik Mesin ITS Surabaya, desain kompor khusus bio-ethanol pun dikembangkan. "Hasil desain Teknik Mesin ITS itu akhirnya kami kerjasamakan dengan Koperasi Manunggal Sejahtera Yogyakarta, untuk memproduksi kompor tanpa sumbu yang harganya Rp40.000", katanya.

Oleh karena itu, minyak tanah bio-ethanol tidak hanya ekonomis, tapi juga terbukti tanpa jelaga. "Mungkin pemanasan minyak bio-ethanol yang agak lama. Misalnya, untuk memasak mie, kompor minyak tanah biasa hanya membutuhkan waktu 10 menit, sedangkan kompor bio-ethanol 2-3 menit lebih lama", katanya.
http://www.altekimits.com/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=2

Tidak ada komentar: