Senin, Oktober 06, 2008
Mencari Alternatif Selamatkan APBN
Operator memonitor proses penerimaan dan penimbunan bahan bakar minyak (BBM) di ruang kontrol Depo Pertamina
UPms III Plumpang, Jakarta Utara, Jumat (8/2). Kesinambungan pasokan dan distribusi BBM di Depo Plumpang diatur di
ruangan tersebut
Penerapan kartu kendali untuk menekan konsumsi bahan bakar minyak masih dipertimbangkan pemerintah. Pesan yang ditekankan adalah pentingnya menyelamatkan APBN, yang membengkak karena subsidi BBM. Namun, kartu kendali bisa jadi bukan satu-satunya solusi dan bukan pula yang terbaik.
Pengamat perminyakan Kurtubi dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto menawarkan beberapa alternatif. Pertama, mengatasi persoalan paling mendasar yang seakan enggan disentuh pemerintah, yakni inefisiensi dalam proses impor minyak mentah dan BBM oleh Pertamina.
Kurtubi meyakini, pembengkakan anggaran negara dapat dihindari jika pemerintah mengembalikan patokan penghitungan subsidi BBM ke formula biaya pokok BBM Pertamina.
Besaran subsidi BBM selama ini dihitung dengan patokan formula rata-rata harga minyak yang dijual di pasar Singapura (mean of platts Singapore/ MOPS) plus alfa. Faktor alfa adalah margin keuntungan plus biaya distribusi yang dikantongi Pertamina. Alfa dihitung berdasarkan persentase dari MOPS. Semakin tinggi harga MOPS, semakin besar pula alfa.
Artinya, Pertamina mendapat insentif lebih besar untuk mengimpor minyak dengan harga MOPS yang lebih tinggi. Pemerintah memang telah memutuskan memangkas alfa dari 13,5 persen menjadi 12,5 persen.
Kurtubi menilai MOPS tidak mencerminkan biaya BBM secara utuh. Biaya produksi dan distribusi tidak bergantung pada fluktuasi harga MOPS. ”Pada transaksi riil, pelaku usaha sering membayar lebih rendah dari harga MOPS,” ujarnya.
Namun, dorongan bagi Pertamina untuk mencari harga lebih rendah dari MOPS tertutup karena patokan pembayaran pemerintah itu. Jika patokan yang digunakan tetap MOPS, subsidi juga dapat ditekan dengan mengurangi besaran alfa.
”Kalau APBN kita ’klimis’, besaran alfa 20 persen untuk Pertamina juga boleh. Namun dengan kondisi sekarang, seharusnya ditetapkan saja nilai alfa itu berapa, bukan persentase, yang ikut berfluktuasi mengikuti harga minyak,” ujar Kurtubi.
Pri Agung memperhitungkan, harga minyak mentah yang dibeli Pertamina secara riil 0,68-4 dollar AS per barrel lebih mahal dari harga riil.
Inefisiensi impor
Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Suharso Monoarfa pun menemukan ”keganjilan” atas dipertahankannya formula MOPS plus alfa dalam perhitungan subsidi BBM.
Pada rencana APBN Perubahan yang diajukan pemerintah ke DPR, pemerintah mengajukan kebutuhan dana Rp 106 triliun untuk subsidi BBM dengan asumsi harga minyak mentah rata-rata 83 dollar AS per barrel.
Dengan asumsi harga minyak yang sama, Suharso membuat simulasi, jika besaran alfa diturunkan dari 15 persen ke 12,5 persen, subsidi yang dibutuhkan menjadi Rp 94,8 triliun.
Penghematan yang didapat dengan menurunkan persentase alfa itu lebih besar dari penghematan dengan kartu kendali BBM yang ditargetkan pemerintah sebesar Rp 10 triliun.
Jika alfa ditentukan 9 dollar AS per barrel, penghematan yang bisa dilakukan mencapai Rp 17 triliun karena kebutuhan subsidi hanya Rp 89,3 triliun.
”Sebenarnya formula MOPS plus alfa ini masalah lama. Dalam penetapan MOPS oleh Pertamina itu juga ada hitungan delta yang masih misterius. Saya sendiri heran, mengapa masalah ini tidak digugat,” kata Suharso.
Masih terkait inefisiensi impor minyak dan BBM oleh Pertamina, Kurtubi mengingatkan, sekarang saatnya memangkas jaringan rente dalam proses impor minyak. Pertamina seharusnya menghindari pembelian melalui pihak ketiga di pasar spot.
Peluang membeli dengan harga di bawah MOPS terbuka lebih lebar jika Pertamina sendiri melakukan kontrak pembelian jangka panjang dengan BUMN produsen minyak.
Naikkan produksi
Penyelamatan anggaran juga bisa dilakukan dengan menggenjot kenaikan produksi secara lebih realistis. Pemerintah telah merevisi bagian minyak yang bisa dijual (lifting) dalam APBN 2008, yaitu dari target 1,034 juta barrel per hari menjadi 910.000 barrel per hari.
Namun, pada Januari 2008, produksi minyak sudah mencapai 1 juta barrel per hari. Pri Agung meyakini, kenaikan lifting adalah faktor yang relatif bisa diusahakan dan dikontrol. Ia memperhitungkan dengan lifting 950.000 barrel per hari, pemerintah bisa mengantongi tambahan pendapatan sekitar Rp 14 triliun atau bahkan lebih besar.
Kurtubi bahkan meyakini lifting dapat mencapai 1,1 juta barrel per hari. Dengan peningkatan produksi itu, tambahan pendapatan yang bisa didapat mencapai sekitar Rp 33 triliun.
Penghematan juga mesti dilakukan dengan meningkatkan pengawasan distribusi minyak tanah yang menelan porsi subsidi sangat besar jika dibandingkan antara volume dan besaran rupiahnya. Dalam Rancangan APBN-P 2008, pemerintah memperkirakan subsidi minyak tanah bakal mencapai Rp 34,03 triliun untuk volume 7,56 juta kiloliter. Subsidi premium diperkirakan Rp 35,03 triliun untuk volume 16,98 juta kiloliter.
Kepala BPH Migas Tubagus Haryono mengatakan, sensus di 63 kabupaten menunjukkan kebutuhan riil minyak tanah ternyata 19 persen lebih rendah dari jumlah minyak tanah yang didistribusikan Pertamina.
”Dari patokan angka 3,75 liter per jiwa per bulan yang selama ini jadi patokan, hasil survei BPH Migas menunjukkan konsumsi riil rata-rata hanya 3,04 liter per jiwa per bulan. Berarti ada penghematan 0,71 liter per jiwa per bulan,” kata Tubagus.
BPH Migas juga mendorong penataan kembali agen dan pangkalan minyak tanah. ”Di Cirebon, misalnya, 200 pangkalan yang terdaftar di Pertamina, tetapi kenyataannya ada 500 pangkalan di situ. Antara depo ke pangkalan juga banyak ’daerah tak bertuan’,” ujarnya.
BPH Migas berencana mulai menerapkan sistem pendistribusian minyak tanah tertutup di Jateng dan sebagian Jabar mulai April. Dalam jangka waktu lebih panjang, diversifikasi energi harus dipercepat. Konversi minyak tanah ke gas untuk rumah tangga serta penggunaan bahan bakar gas bagi kendaraan umum dan dinas perlu ditingkatkan.
Sebagai alternatif terakhir, kenaikan harga BBM secara bertahap dirasa sebagai pilihan yang patut dipertimbangkan. (Nur Hidayati/Doty Damayanti/Kompas)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar